DUA
Baca BAB SATU terlebih dahulu…
“Ini udah jam 6. Saya sudah boleh pulang belum?”
“Belum, Bu. Kata Bapak Kepala, Bu Alea belum boleh pulang.”
Suara Alea meninggi, dia berdiri sambil menunjukkan arlojinya, “Tapi tiket kereta saya jam 7, Yon. Kalau nggak berangkat sekarang, saya bisa ketinggalan kereta.Tolong dong bilang ke Bapak Kepala.”
“Iya, Bu. Saya sudah bilang kok. Cuma kata Bapak Kepala, Bu Alea belum boleh pulang, takutnya kalau orang Inspektorat nanya-nanya, trus Ibu Kepala nggak ngerti.”
Alea semakin tidak sabar, sekarang dia setengah menyesali diri telah melakukan banyak hal untuk kantornya ini. Sebagai orang Tata Usaha yang gemas, Alea memang mengambil alih banyak pekerjaan di kantornya, sementara pemilik asli pekerjaan tersebut lebih memilih belanja ke Pasar Baru lalu kemudian balik ke kantor hanya untuk fingerprint. Tipikal.
“Alea, dipanggil ke dalam,” ujar Bu Arofah yang barusan keluar dari ruang rapat.
“Waduh, kenapa lagi ini. Kapan gue pulangnya,” gumam Alea. Namanya juga PNS kesayangan kepala, hanya bisa bergumam dan nggredundel ketika disuruh, namun tetap tersenyum kecut bin angguk-angguk di depan Bapak Kepala.
“Ini nih yang ngurusin,” kata Bapak Kepala begitu Alea masuk ke ruang rapat.
“Iya, Pak. Ada apa?” tanya Alea manis banget.
Inspektorat berjenggot yang sedang duduk di depan Bapak Kepala kemudian berbicara, “Begini Bu Alea, kami mau konfirmasi tentang pengadaan benih, kenapa pakai penunjukan langsung?”
“Iya, itu bagaimana Alea? Harusnya nggak pakai penunjukan langsung dong. di Perpres 70 kan bilang gitu. Saya kan dulu PPK, jadi tahu soal gini-gini. Kalian kok payah, sih,” timpal Bapak Kepala.
Alea menggeram namun tidak terdengar, napasnya terhela jengah di sela-sela detak jantung yang tetiba menjadi lebih cepat. Darah mengalir ke wajahnya, sehingga paras cantik itu diwarnai oleh merah, bukan merah cantik, namun semacam merah amarah. Namun apa daya, mana ada ceritanya marah sama atasan, Kepala pula. Alea memilih untuk mengatur napas, menata kalimat, untuk kemudian berkata, “Bapak, perihal penunjukan langsung untuk benih kan sudah ada di Perpres nomor 172 tahun 2014, dan tidak diubah lagi di Perpres yang paling baru. Jadi semestinya pengadaan langsung yang kami lakukan untuk benih tidak menyalahi ketentuan.”
“Memangnya ada Perpres pengadaan yang baru? Kok saya belum dapat surat resminya?” tanya Bapak Kepala dengan nada arogan, bukan nada tidak tahu.
“Ada, Bapak. 172 tahun 2014 untuk pengadaan benih saja. Kemudian ada beberapa tambahan yang lumayan banyak di Perpres nomor 4 tahun 2015. Saya sih nggak hafal perubahannya apa saja.”
“Baik, Bu Alea. Kami hanya butuh konfirmasi itu saja. Jadi yang dilakukan oleh kantor sini sudah benar, kok,” ujar Inspektorat berjenggot sambil senyum-senyum.
“Saya sudah boleh pulang, Pak?” tanya Alea kepada Bapak Kepala.
“Boleh, deh,” jawab Bapak Kepala, “Eh tapi ini sudah kan, Pak?”
“Sudah, Pak. Sudah selesai konfirmasinya.”
Alea kemudian pamit mundur dan berjalan cepat ke luar ruangan, berharap suasana tidak berubah seketika. Atau kalaupun berubah, setidaknya ketika dia sudah meninggalkan ruang rapat. Langkah Alea menjadi lebih cepat dan sejurus kemudian sudah sampai di depan mesin fingerprint. Hanya dalam kedipan mata, Alea bahkan sudah sampai di depan kantor dan memanggil tukang ojek yang secara kebetulan tinggal sisa satu.
“Stasiun, Pak.”
“Stasiun mana, Neng?”
“Eleuh, si bapak. Stasiun Bandung atuh, bukan Cimahi. Cepetan ya, Pak. Keretanya jam 7.”
“Siap, Neng.”
Hanya 30 menit yang dimiliki oleh Alea untuk sampai ke Stasiun Bandung sesuai jadwal Kereta Api Turangga yang sudah dibelinya bulan lalu. Waktu yang cukup mepet mengingat jarak yang ditempuh tidaklah dekat-dekat amat, dan jalanan menuju Stasiun punya titik-titik macet yang tidak bisa diduga. Bandung memang tidak semacet Jakarta, tapi tetap saja macet.
Merupakan sebuah pemandangan menarik ketika seorang perempuan dengan seragam kantoran, sepatu berhak agak tinggi, menyandang ransel besar, dan naik ojek. Paras cantik Alea tidak tertutup, hanya rambut indahnya yang dilindungi oleh helm putih tanpa tali pengikat. Kesan terburu-buru tampak dari parasnya. Sesekali dia menepuk bahu Pak Ojek sambil berkata, “cepet, Pak.”
Sungguhpun ojek sudah dipacu sedemikian kencang, kemacetan adalah musuhnya. Kepadatan kendaraan begitu nyata, bahkan lampu merah di dekat Istana Plaza sudah menyala tiga kali ketika Alea berada di kerumunan kendaraan di dekat situ. Alea melihat lampu tersebut merah, lantas berubah hijau. Ojek yang ditumpangi Alea maju, eh, merah lagi. Dengan geregetan Alea menanti, lampu kembali hijau. Persis ketika ojek yang ditumpangi Alea hendak melintas, merah lagi. Geregetan sangat, Alea tidak henti melihat arlojinya.
Lepas dari lampu merah IP, ojek yang ditumpangi Alea melaju lurus dengan kecepatan konstan meski terdapat kepadatan. Alea mulai sumringah melihat kondisi tersebut. Terbayang olehnya untuk duduk manis di kursi 14A Kereta Api Turangga dan lantas tidur cantik di balik selimut.
“Waduh, macet, Neng,” ujar Pak Ojek begitu berbelok ke kanan. Ya, memang nyaris tidak ada celah lagi. Baik mobil pribadi, angkot, hingga sepeda motor aneka rupa tumpah ruah di jalanan satu arah menjelang Stasiun Bandung tersebut. Bahkan di Jepang tempat asal muasal mayoritas kendaraan-kendaraan inipun tidak semacet yang tampak di depan Alea.
Alea yang tadi sumringah, kembali muram. Tinggal sepuluh menit lagi pukul tujuh, dan dia masih cukup jauh dari Stasiun. Mulutnya mengutuk banyak hal, mulai dari kemacetan, orang Inspektorat yang nggak jelas maksud kedatangannya, sampai Bapak Kepala dengan segala arogansinya. Semua kena, pokoknya.
“Udah, deh, Pak. Sampai sini aja,” kata Alea sambil turun dan menyerahkan beberapa lembar uang kepada Pak Ojek, serta lantas berjalan gesit melewati beberapa sepeda motor untuk bisa sampai ke trotoar. Begitu sampai trotoar, hak sepatu Alea membentur bumi dengan daya tekan besar pada luas permukaan bidang yang sempit. Tiga empat meter, Alea masih mencoba berjalan dengan segenap beban yang dibawanya. Lima meter? Alea lantas mencopot sepatu kantor dan membiarkan kakinya nan mulus itu menjejak trotoar yang tentu saja kotor.
Rambut Alea melambai cantik seiring gerak gesitnya berlari menuju stasiun. Kerja kerasnya untuk nyeker di trotoar dan sesekali turun ke jalan beraspal kiranya hampir mencapai hasil. Stasiun Kereta Api Bandung sudah tampak di pelupuk mata Alea yang terlindungi oleh bulu mata nan lentik itu. Mata coklatnya mencoba fokus pada tujuan, sementara tubuhnya terus bergerak lincah tanpa peduli beratnya ransel yang disandangnya.
“Aduh, jauh pisan masuknya,” gerutu Alea begitu larinya sampai juga di pintu masuk Stasiun Bandung yang jamak dikenal sebagai Stasiun Hall itu. Sementara dari tempatnya masih setengah berlari, sebuah rangkaian kereta tampak berlalu. Alea segera melihat jam tangan kulit miliknya.
19.05. Uhm, bukan sebuah informasi dan pertanda yang bagus.
Langkah kaki nyeker Alea akhirnya sampai juga di pintu masuk ke peron penumpang. Si cantik itu tidak peduli bahwa jejak kakinya telah tertinggal sebagai kotoran di lantai stasiun nan mulus. Sambil berlari, dirogohnya kantong pada ransel, dan dikeluarkannya selembar kertas berwarna biru. Bergegas, Alea sampai di depan petugas penjaga pintu peron, menyerahkan tiket KA Turangga sambil terengah-engah.
“Turangga ya, Mbak?”
Alea mengangguk, tidak sanggup lagi menjawab.
“Wah, Turangga barusan berangkat, jam tujuh, sesuai jadwal.”
“Jadi, hangus nih, Pak?” tanya Alea dengan tersengal.
Petugas penjaga pintu peron ini tampak paham bahwa Alea menyampaikan sebuah retorika. Alea pun juga paham bahwa terkadang konsumen yang salah selalu mencoba beretorika untuk memetik keuntungan ataupun bebas dari kesalahan yang diciptakannya sendiri. Sekali lagi, tipikal. Alea lantas mengambil tiket Turangga yang sudah tidak laku karena tampaknya sudah dengan cepat di jalur milik sendiri. Langkahnya kemudian berubah perlahan, menuju sebuah kursi di dekat loket. Dihempaskannya ransel ke lantai, berturut-turut dengan tubuhnya yang segera menempel pada kursi. Ponsel segera jadi peraduannya, benda yang terlupakan sejak Alea berlari cepat dari kantor.
“Yas, gue ketinggalan kereta nih. Gara-gara ada orang pusat kampret kelamaan di kantor. Gimana dong? Iya, gue tahu resepsinya masih besok sorean, tapi kalau gue kereta pagi, takut nggak keburu juga. Belum kalau telat segala macam. Oh, heh? Apa? Pesawat? Dari Jakarta dong? Hmmm, ya, berarti gue nggak bobo ni malam. Ya udah, deh. Eh, poin GFF lo berapa? Ada delapan ribu nggak? Kalau ada tolong beliin ya. Ntar di Jogja gue ganti. Lagi hectic begini, nggak bisa juga gue order tiket. Oke say? Sip. Tenang aja, pasti gue lebihin. Goceng. Gimana? Hahahaha. Oke deh, gue tunggu ya.”
Alea menghela napas sejenak. Berlari mengejar kereta dan gagal bukanlah sebuah hal yang layak dicatat. Bukan, ini bukan soal ongkos tiket kereta yang hangus. Cukup sekali dinas ke Jakarta, duit segitu juga kembali. Mungkin Alea dapat menganggap bahwa tiketnya yang hangus itu adalah pencucian dari uang-uang nggak jelas yang diterimanya di kantor. Sepasang mata dengan bulu mata lentik yang sedari dari menatap tiket KA Turangga nan hangus itu kemudian beralih fokus. Kali ini ke sekitar, loket, kursi pijat, restoran fast food, dan manusia-manusia yang menanti. Dua kali melempar pandang, mata itu memilih untuk terpejam.
“Mas, aku tuh nggak suka sama stasiun.”
“Kenapa, dek?”
“Habisnya kalau ke stasiun, cuma nganter kamu ke dalam kereta, habis itu pulang sendirian.”
“Hehe, yah, tapi kan kalau pas jemput aku, kamu datang sendirian, pulangnya bawa aku.”
“Iya juga, sih.”
“Makanya,dek, tinggal diatur sudut pandangnya aja. “
Alea menyimak percakapan dari kursi yang ada di belakangnya. Ini soal sudut pandang, gumam Alea. Matanya terbuka dan tetiba menoleh kepada sebuah sudut. Terbayang olehnya kala suatu siang, dia berdiri di sudut itu, menahan tangis pun nyeri karena lebam yang ada di sekujur tubuhnya. Namun teringat pula olehnya betapa leganya dia saat itu, ketika bisa sampai ke Bandung dengan selamat, dengan lega, dengan bebas.
Mata Alea berpindah fokus ke pintu masuk. Tampak olehnya sepasang manusia berbeda jenis kelamin saling berpelukan. Ada tangis dalam pelukan itu, dan, ah, durasi pelukannya lama sekali. Bikin iri! Sekelebat, adegan berpelukan di stasiun muncul di benak Alea. Adegan yang berulang kali dimasukkan ke recycle bin oleh Alea, namun tetiba nongol lagi di Desktop. Adegan yang kadang-kadang tanpa dipencet tombol ‘Play’, berputar sendiri tanpa buffering di benak Alea.
Tangan Alea bergetar sedikit, satu-dua detik serasa hendak menahan sesuatu. Serasa tak tertahankan, tangan itu mengepal tersembunyi di sela-sela kedua kaki. Detak jantung Alea bertambah, mukanya menunduk, napas tertahan sekejap hingga sejurus kemudian didongakkannya paras ayu itu, dilepaskannya napasnya, pun genggaman tangannya kembali menjadi jari-jari lentik dan lembut.
Tangan itu segera masuk ke dalam tas yang dibawa Alea, tanpa butuh penglihatan sebuah dompet berhasil dibawa keluar. Alea membuka dompet itu dan lantas merogoh bagian tersembunyi persis di belakang tumpukan kartu member. Jari-jari lentik itu menarik sebuah foto, berlatar stasiun. Bukan Bandung, memang, tapi Solo Balapan. Ada Alea dengan paras yang masih belia di foto itu, sedang memeluk seorang pria yang tidak tampan-tampan amat.
“Kamu tetap pria paling baik yang pernah aku temui,” gumam Alea sambil mengusap lembut foto itu.
BRRRRRRRTTTT….
Seketika fokus Alea teralihkan oleh ponselnya yang bergetar. Ada Tyas di ujung sana.
“Halo, Yas? Oh, aduh syukurlah ada. Minta tolong dikirimin kode bookingnya ya, email boleh, screenshoot sudah boleh. Terserah lo aja. Apa? Iya, abis ni gue cari travel ke Cengkareng. Amanlah, gue pasti ada besok, pastikan ke mempelai, nggak mungkin Alea absen dari kawinan dia. Thanks ya cantik! Lo kalau lagi baik emang tambah cantik, Yas. Hahahaha.”
Panggilan telepon selesai, Alea menghela napasnya lagi dan lantas bergumam, “Uni, uni, semoga lo ngerti nikah itu nggak gampang.”